Senin, 20 Januari 2020

Manual: drama kamera lomo

On a serious note, saya tidak suka-suka amat pegang kamera. Alasan utama saya (pernah) main kamera lomo adalah iseng-iseng belaka. Sekali-kalinya saya pegang kamera lomo adalah Holga 120 GCFN yang saya beli dari senior di FE Unpad pada tahun 2011. Saya masih ingat, saya membeli kamera tsb dengan harga 650rb. Itu pun tidak langsung saya pakai karena bingung dan agak bodoh, tidak tahu harus pakai roll film yang seperti apa. 

Sempat sok tahu membeli roll film 35mm, padahal beda ukuran. Sampai akhirnya saya pergi ke Toko Kamal di Jalan Braga untuk membeli sekaligus minta tolong pasangkan roll filmnya. Tidak sampai situ, setelah kamera siap pakai, saya pun masih bingung mau mengambil foto apa.

Sampai akhirnya di tahun 2013 saya memutuskan untuk menghabiskan sisa roll film dengan foto asal-asalan (jujur menyesal), lalu menjualnya ke kolektor kamera. Cerita soal kamera ini belum selesai karena  kamera tersebut kembali ke tangan saya di tahun 2015. 

Long story short, saya dengan kesibukan baru yang sebenarnya tidak sibuk-sibuk amat juga, agak kehilangan minat dengan lomografi. Kalau sekarang istilahnya kamera lomo yang saya miliki sudah tidak "sparks joy". Di tahun 2016 saya menjual kamera tersebut di website olx dengan harga 300rb. Bukannya untung, kami malah kena tipu dan kehilangan uang sejumlah empat kali lipatnya (kena penipuan dengan modus e-cash mandiri). 

Hampir saja kamera yang banyak drama ini berakhir menjadi pengganjal pintu lengkap dengan dusnya. Seseorang yang menyukai lomografi tiba-tiba menghubungi saya dan menanyakan apakah kameranya masih ada. Seorang yang ternyata satu angkatan di Unpad, masih temannya teman saya di Faperta, membeli dengan harga 150rb saja. Saya masih ingat raut wajahnya yang sangat senang mendapatkan kamera dengan harga murah.

Beberapa waktu lalu saya sempat membuat akun instagram khusus untuk hasil foto dari kamera analog. Tapi rasanya lebih nyaman membagikannya lewat blog seperti ini. Hehe.

Kodak Pro 160, no flash.

Kodak Pro 160, no flash.

Kodak Pro 160, blue flash.

Kodak Pro 160, red flash.

Kodak Pro 160, red flash.

Kodak Pro 160, no flash.

LIFE UPDATE: still a mess



Setelah tahunan menarik diri dari dunia per-blogger-an, akhirnya saya kembali lagi hehe. Hidup akhir-akhir ini sedang nggak jelas mau kemana arahnya. Jadi saya memutuskan untuk kembali menulis dan menyampah agar tetap waras hehe. 

Rabu, 11 Januari 2017

Resep Prawn Aglio e Olio


Ciao bella!
Saya suka banget makan pasta, tapi kadang-kadang bosan juga dengan pasta yang sausnya creamy atau rasa tomat hahaha. Kalau lagi ingin makan pasta yang rasanya lebih light dan spicy, pilihan saya adalah Aglio e Olio.
Aglio e Olio berarti garlic and oil. Bawang putih dan minyak zaitun merupakan inti dari aglio e olio. Aku tanpa kamu, seperti aglio e olio tanpa bawang putih dan minyak zaitun, apalah artinya. Selain bawang putih dan minyak zaitun, kamu bisa menambahkan oregano, chili flakes, keju, dan lain-lain. Pasta aglio e olio juga bisa dipadukan dengan seafood atau smoked beef atau ayam, suka-suka kamu. Kalau saya lebih suka dipadukan dengan seafood dan rasanya agak pedas.  Tapi yang lebih saya suka adalah, cara membuatnya yang praktis.


SPAGHETTI AGLIO E OLIO 

Bahan:
60 gram        Spaghetti (bisa diganti dengan pasta lainnya: fettucine/ fusili/ penne)
1 sdm           Minyak sayur atau mentega atau butter
3 sdm           Minyak Zaitun
1 siung          Bawang putih
Sejumput      Garam
Sejumput      Lada
Sejumput     Oregano kering

Optional:
5 buah         Udang kupas (boleh diganti cumi atau apapun yang kamu suka, jumlahnya juga sesuai selera)
Jeruk nipis/ lemon
Cabai rawit

Cara Membuat:
  1. Rebus pasta sampai aldente (matang tapi tidak terlalu lembek) kurang lebih 15 menit. Saat merebus, beri sejumput garam dan sedikit minyak sayur/ butter. Tiriskan.
  2.  Udang kupas yang sudah dicuci bersih diberi perasan jeruk nipis/lemon agar tidak berbau amis. sisihkan.
  3. Panaskan minyak zaitun, masukkan udang kupas dan masak hingga setengah matang. kemudian masukkan bawang putih yang sudah dicincang kasar. 
  4. Tumis sebentar lalu masukkan pasta yang sudah ditiriskan. Tambahkan garam, lada, dan oregano kering kemudian campurkan hingga rata. 
  5. Jika suka pedas, bisa ditambahkan irisan cabai rawit atau bubuk cabai. 

Selamat Mencoba. 
:)

Rabu, 03 Februari 2016

Triwindu Antique Market, Solo


I always love to strolling around vintage thrift market. So when I was in Sukoharjo, my friend (Sara) and I decided to visit Triwindu Antique Market. It's located on the corner of Diponegoro Street, near Ngarsopuro. It was sunday and this market rather quiet. Many stores are closed on that day. Sara was looking for a cigarettes box and I just wanted to feel an  ancient atmosphere.

I think they're sell everything in here, once again, everything. Lol. From door ornaments, antique lamps, leather or wooden puppets, wooden masks, chair, antique charcoal irons, to televisions, old cameras and typewriters, clocks, vintage sunglasses and bags, and MANY MORE. And the price is depend on your bargain skill.

I’ve found many things I didn’t expect to see there. If you love strolling around antique markets, just like me, this place will captivative you instantly. 

 
 








 
Meet my friend, Sara, and Mr..... (i'm so sorry that i forgot his name). By the way, he's a friendly old man and i bet you'll love to talking to him. I've spent an hour in his store without buying anything. Lol.












Thankyou,
:)

Selasa, 29 September 2015

24 jam keliling Dieng Plateau

Masih soal Dieng Plateau, banyak yang bilang kalau kita main ke Dieng, nggak cukup cuma satu atau dua hari. Saya setuju, rasanya tempatnya asyik dan suasana disana emang nyaman banget. Tapi bukan berarti kalau kamu cuma punya waktu 24 jam di Dieng, kamu nggak bisa senang-senang dan jalan-jalan.  Ya mungkin bakalan beda cerita kalau kamu orangnya suka antimainstream yang nggak mau jalan-jalan ke tempat turis. Hahaha.

Kali ini saya mau tuliskan apa aja yang saya lakukan di Dieng selama 24 jam. Karena waktu itu saya cuma punya waktu 24 jam disana. Sampai di sana jam 07.00, besoknya jam 08.00 udah pergi lagi dari Dieng. Hahaha, oke 25 jam ya, satu jam cari oleh-oleh.

Hal pertama yang harus kamu ketahui sebelum jalan-jalan sekitaran Dieng, kamu harus sedia uang yang ditaruh di tempat yang gampang di ambil. Kenapa? karena kamu akan menemukan banyak sekali loket, baik itu loket masuk tempat wisata, atau loket-loket lainnya hahaha.

Saya urutkan dari awal beberapa tempat yang saya kunjungi.

Dieng Plateau Theater
Pertama, setelah sampai di penginapan Bu Djono lalu mandi dan istirahat sebentar, saya keluar penginapan sekitar pukul 09.00. Berbekal peta ala kadarnya yang dikasih sama mas-mas penginapan. Pertama, kami mulai dari Dieng Plateau Theater.


Kami distop dan diminta bayar tiket masuk kawasan, harganya 8ribu. Saya kira, tiket ini bisa dipakai untuk masuk ke semua tempat wisata di Dieng. Ternyata enggak, cuma buat nonton film dokumenter di Dieng Plateau Theater. Saya nggak sempat ambil foto di dalam teater, yang jelas filmnya adalah film dokumenter tentang sejarah dataran tinggi Dieng. Filmnya mengingatkan saya pada film-film serupa yang pernah saya tonton di Museum Geologi. Filmnya cuma sebentar kok, setengah jam juga enggak sih kalau nggak salah.


Batu Pandang
Di belakang gedung teater, ada jalan setapak kecil yang mengarah ke belakang bukit. Ada bapak-bapak yang (saya kira) berbaik hati karena nunjukin jalan setapak yang tembus ke Batu Pandang. Eh ternyata dia guide terselubung dan minta dibayar hahaha, sial. Akhirnya saya bayar aja sekalian sama tiket masuk batu pandang 10ribu.

Saya agak mendaki sedikit, di kiri kanan banyak pohon cabe dan carica. Sebenarnya, ada jalan lain untuk menuju Batu Pandang, lewat Telaga Warna. Tapi waktu itu kami lebih memilih untuk lewat jalan setapak belakang Dieng Plateau Theater, biar nggak bolak-balik aja.
Kawasan di sekitar Batu Pandang mengingatkan saya pada Stone Garden yang ada di Padalarang. Namanya juga batu-batuan.


Spot Batu Pandang yang sering banget saya lihat di kalender, untuk mencapainya nggak begitu sulit. Cuma menanjak di batu-batu, nggak begitu ekstrem dan berbahaya. Ada saung yang cukup luas juga untuk menyimpan barang atau duduk-duduk.


Karena waktu itu di Batu Pandang lagi ada orang, saya agak berjalan jauh ke bukit dan menemukan batu yang kelihatannya bisa dinaikin. Sayangnya emang agak licin dan curam, karena memang bukan batu yang biasa dipakai orang untuk melihat pemandangan. Tapi, pemandangannya bagus juga.

Saya nggak menyarankan untuk naik-naik ke batu yang lainnya selain Batu Pandang yang biasa, apalagi kalau kamu takut ketinggian dan nggak biasa jalan di batu yang licin. Bahaya. Ingat, safety first, not selfie first.


foto diambil dari batu yang bukan batu pandang (?)
nggak disarankan untuk naik ke batu ini di musim hujan, licin banget!
Batu Pandang


Telaga Warna
Dari Batu Pandang, ada jalan setapak menuju ke Telaga Warna. Bukan jalan setapak sih hahaha, tapi paving block. Saya nggak langsung ke Telaga Warna karena kendaraan parkir di Dieng Plateau Theater. Peer banget kan pulangnya harus naik lagi hahaha #generasimager.

Waktu saya ke sana, kondisinya lagi gerimis dan agak berkabut. Agak sedih juga sih karena Telaga Warna waktu saya datangi malah kayak Kawah Putih gini. Padahal kalo lihat di instagram yang hashtag-nya banyak itu, Telaga Warna kelihatan wah banget. Ya, salah saya juga sih datang pas musim hujan. Sialnya lagi, sekalinya nemu spot foto bagus, udah dibajak duluan sama yang lagi foto pre-wedding. Asem. Jadilah saya cuma bentaran doang disini. Harga tiketnya 5ribu.




Kawah Sikidang
Tiket masuk Kawah Sikidang adalah 10ribu. Tiket masuk ini juga berlaku di Candi Arjuna. Jadi, dengan bayar 10ribu, kamu bisa masuk ke Kawah Sikidang dan Candi Arjuna. Nah, waktu itu mau masuk ke kawasan ini, yang jaga tiket nggak ada. Jadi saya masuk Kawah Sikidang tanpa membayar HAHA.

Sebagai manusia yang hidupnya dihabiskan di daerah penuh kawah macam Bandung, saya nggak begitu antusias. Ya lihat kawah yaaa dimana-mana kan kawah kayak gitu aja, yang membedakan kan bentuk bibir kawahnya hahaha.


Pemandangan di atas cuma bertahan beberapa menit aja karena setelah itu kabut turun lalu gerimis. Nggak banyak yang saya ingat soal Kawah Sikidang, tapi saya ingat kok, di dekat pintu masuk banyak banget yang jualan makanan dan cukup nyaman buat tempat berteduh waktu hujan. Saya juga lupa habis berapa banyak kentang goreng dieng dan tempe kemul, sepertinya banyak :(



Komplek Candi Arjuna
Saya baru sampai di pintu masuk Candi Arjuna lalu disambut hujan cukup deras. Hahaha. Semakin sore memang hujan terus-terusan turun. Setelah menunggu sebentar, akhirnya hujan cukup reda dan saya mulai masuk ke Komplek Candi Arjuna. Hal pertama yang saya sadari ketika masuk ke sana.... BUSET INI SEPI BANGET! Karena kalau dari riset saya di internet, katanya sore-sore di Komplek Candi Arjuna itu rame banget, banyak badutnya. Ya, mungkin karena habis hujan, jadi cuma ada rombongan saya dan rombongan turis asal China.


Sayangnya, waktu itu sedang ada beberapa perbaikan. Mungkin sekarang perbaikannya udah selesai. Oh ya, di Komplek Candi Arjuna, selain ada candi yang ada di foto di atas, ada juga Candi Bima (foto bawah) dan ada satu lagi candi yang saya lupa namanya. Tadinya saya mau ke sana cuma karena hujan (lagi), saya nggak sempat ke sana.


Komplek Candi Arjuna adalah tempat terakhir yang saya kunjungi hari itu, capek banget mak belum tidur hahaha. Sekitar jam 3 sore, saya keluar dari Komplek Candi Arjuna dan langsung balik ke Penginapan Bu Djono.

Lalu sore itu hujan deras sekali. Saya tidur, sampai pagi.
Edan.

Oh ya, kalo kamu mau menghabiskan waktu dengan maksimal. Setelah dari Kompleks Candi Arjuna, sebenarnya masih ada beberapa tempat wisata yang bisa kamu kunjungi. Ya, tinggal menyesuaikan aja waktunya. Saya akan tuliskan beberapa tempat wisata yang direkomendasikan oleh Mas-Mas Penginapan tapi nggak sempat saya kunjungi supaya kamu bisa riset soal tempat itu.

  • Pemandian Air Panas Pulosari
  • Sumur Jalatunda
  • Telaga Merdada
  • Kawah Sileri
  • Air Terjun Sirawe


Bukit Sikunir ( +Telaga Cebong)
Pergi ke Dieng tapi nggak lihat sunrise tuh udah kayak ambulans tanpa wiu wiu, apalah artinya. Apalagi tujuan saya ke Dieng kan mau lihat Golden Sunrise yang kata orang keren banget itu. Saya kebangun jam 2 pagi karena ada tamu yang baru datang di Penginapan, mereka ribut banget. Ya, kalo nginep di Bu Djono, orang jalan pelan aja kedengeran jelas.

Saya berangkat ke Sikunir jam 4 pagi naik motor. Jarak dari Penginapan Bu Djono sampai ke Sikunir kurang lebih 8km. Saya sempat kaget juga karena ada yang memutuskan buat jalan kaki dari penginapan. Yah, tangguh banget lah pokoknya, sepanjang jalan ke Sikunir juga saya lihat banyak banget yang jalan kaki bawa senter. Oh ya, jalan menuju ke gerbang Sikunir itu gelap dan masih minim penerangan, cuma terang dari lampu kendaraan. Jalannya juga jelek di beberapa titik dan sedang diperbaiki, mungkin sekarang udah bagus jalannya. Saran saya, apalagi kalo naik motor, mendingan bareng-bareng atau ramean gitu motornya semacam konvoi, biar lebih aman dan terang aja.

Sebelum sampai di gerbang Sikunir, saya melewati gapura selamat datang di desa Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa. Di sana, saya merasa udara semakin tipis, dan semakin dingin. Tapi saya seneng-seneng aja, namanya juga lagi piknik. Hahaha.
Saya parkir motor di dekat gerbang masuk Sikunir. Di sana banyak banget warung makanan dan oleh-oleh. Tapi karena takut lama jalannya, rombongan saya memutuskan untuk langsung berangkat. Cuma bawa bekal roti dan air mineral aja, itu juga udah cukup karena di atas juga ada yang jualan.

Trek untuk menuju puncak Sikunir sebenarnya nggak begitu sulit, tapi akan beda cerita kalau jalannya habis diguyur hujan semalaman. Nah, untungnya kemarin hujan cuma sampai sore, jadi waktu paginya saya ke Sikunir, tanahnya lembap dan yaaa ada beberapa bagian yang becek. Untuk treknya sendiri diawali dengan jalanan berbatu yang lama kelamaan jadi tangga gitu. Tangganya cukup ngeri karena kita dibawa semacam melipir bukit. Tapi tenang aja, ada pegangannya kok atau kamu bisa pegang tangan pacar, itu pun kalo punya. Jalannya juga nggak nanjak terus, ada jalan datar di beberapa titik dan sedikit turunan. Aku menyarankan untuk pakai sepatu yang aman untuk trekking seperti itu, jangan pakai sepatu yang licin macam converse.

Saya datang kepagian alias masih gelap banget. Akhirnya saya dan rombongan memutuskan untuk jajan yang anget-anget dulu di warung, yang jaganya ibu-ibu. Saya sempat kepikiran si ibu yang jualan itu udah diam di sana dari jam berapa, tapi otak saya keburu beku. Dingin banget!
Sayangnya, golden sunrise nggak golden-golden amat. Karena waktu mataharinya mulai naik, langsung lah itu kabut juga lewat lama banget. Alhasil yaa, begini lah cuma dapat before sunrise.


Waktu kabutnya udah pergi, mataharinya udah naik. Yaa, kalo buat saya sih nggak begitu mengecewakan. Masih bisa lihat yang golden-golden lah walaupun anginnya kenceng banget.




Saya dan rombongan turun dari Puncak Sikunir sekitar jam setengah 7 karena ngejar waktu sampai di Penginapan Bu Djono jam setengah 8. Saya belum packing dan makan nasi dari kemarin, lapar. Mau makan nasi goreng Bu Djono yang tenar banget itu. Hahaha.
Perlu diingat, ngejar waktu sih boleh, tapi kalo nemu tempat bagus buat foto ya berhenti dulu lah. Ya kan?

Dekat gerbang masuk Sikunir, ada Telaga Cebong yang luas banget. Kalo kamu mau, kamu bisa ngaso sebentar di sana, tempatnya oke juga.


Saya selesai makan jam 8 pagi. Harusnya langsung naik mikrobus ke Wonosobo karena mau langsung jalan ke Jogjakarta. Tapi apalah artinya ke Dieng kalau nggak beli manisan carica hahaha. Agak menyesal juga sih, karena nggak beli manisan carica waktu kemarin sore. Waktu itu kan masih pagi jadi toko oleh-oleh juga masih pada tutup. Kan sedih. Untungnya ada satu yang buka, tempatnya pas banget di belokan dekat Penginapan Bu Djono.

Oh ya, jangan lupa juga foto di tugu dieng, sambil nunggu mikrobus.



Catatan akhir:

Di Dieng banyak orang gila, beneran deh! Waktu itu saya lagi parkir di Indomaret dekat situ, tiba-tiba ada orang yang saya kira tukang parkir. Saya kasih deh duit dua ribu. Nggak taunya dikembaliin seribu lima ratus. Saya kan ngerasa aneh, apalagi orang-orang di sana pada ngelihatin saya.Eh ternyata doi emang nggak waras. Waktu saya mau pulang pun, kan mau foto tuh di tugu dieng. Ada yang nyamperin juga sambil ngomong apaan gitu nggak jelas. Untungnya ada bapak-bapak yang lewat dan ngusir orang itu. Bapak itu cerita, katanya memang di daerah sana (Dieng) banyak orang gila. Banyak orang-orang yang kurang waras dan mereka dibuang di sana, entah kenapa.

Selama di Dieng, saya nggak makan besar selain nasi goreng Bu Djono. Saya banyak jajan kentang goreng dan tempe kemul. Banyak banget, sampai males makan nasi. Jadi, saya nggak punya rekomendasi tempat makan selain di Bu Djono.

Musim terbaik buat pergi ke Dieng ya tengah-tengah tahun waktu musim kemarau. Kalau enggak, kabutnya edan-edanan. Saya termasuk yang (cukup) beruntung karena waktu ngejar sunrise nggak hujan. Yaa, walaupun sunrisenya juga ketutup kabut hahaha. Lebih asyik lagi kalo datang pas barengan sama Dieng Culture Festival, kan seru tuh!

Oh ya, ada beberapa barang yang jangan sampai nggak dibawa kalo kamu mau ke Dieng:
Senter dan sarung tangan
Syal atau buff atau apapun itu yang bisa nutupin leher dan kepala
Pacar, kalo ada.

Baiklah, selamat liburan!
Thank you for stopping by.
:)



"Just because a place is called as a touristy place, doesn't mean it isn't attractive."